Rabu, 05 Januari 2011

paper tokoh filsafat islam

PEMIKIRAN
K. H. HASYIM ASY’ARI (1871-1947)
Biografi
Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K.H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik. Akan tetapi, K.H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K.H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.
Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Nama lengkap K.H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid ibn Abd al-halim yang mempunyai gelar pangeran bona ibn Abd al-Rahman yang dengan sbutan Jaka Tingkir sultan Hadiwijaya Ibn Abdullah Ibn ABd al-Yaqin yang disebut sunan giri.
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan ia sepat nyantri di pesantren Siwalan panji, Sidoarjo, pada pesantren terakhior inilah ia diambil menantu oleh K.H. Ya’kub yang merupakan kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian K.H. Ya’kub menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.H. Ya’kub.
Setelah menikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji ke mekkah yang dilanjutkan dengan belajar disana, akan tetapi di saat K.H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama, disusul kemudian putranya, menyebabkannya kembali lagi ke tanah air.tidak berapa lama kemudian, ia berangkat lagi kea nah suci, tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga untuk belajar.
Ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan berguru sejumlah ulama, di antaranya kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. Kiai Hasyim Asy’ari pulang ke Indonesia dan mengajar di pesanrtren ayahnya, Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama unuk wilayah jawa dan sekitarnya Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam waktu yang singkat pesantren ralatif ramai dan terkenal di wilayah Jawa.
Disamping bergerak dalam dunia pendidikan, Kyai Hasyim menjadi perintis dan pendiri organisasi kemayarakatan NU (Nahdatul Ulama) sekaligus sebagai Rais Akbar. Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kyai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada bagian lain ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah belanda. Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan dan di asingkan ke mojokerto, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI. K.H. Hasyim Asy’ari wafat di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Dalam usia 79 tahun, tepat tanggal 25 juli 1947 H / 7 Ramadhan 1366. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.
Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan
Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.
Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Ia menulis tulisan nya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar pembahasan selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari delapan bab, yaitu:
1. Keutamaan ilmu serta keutamaan belajar mengajar
2. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar dan mengajar
3. Etika seorang murid terhadap guru
4. Etka murid tehrhadap pelajaran dan hal-hal yang haarus dipedomani bersama guru
5. Etika yang harus dipedomani seorang guru
6. Etika guruketikan dan akan mengajar
7. Etika mguru terhadap murid-muridnya, dan
8. Etika terhadap buku,alat unuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan nya dengannya
Dari delapan bab tersebut dapat di kelopokan dalam tiga kelompok yaitu: signifikasi pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang uris dan tugas dan tanggung jawab seorang guru. Di dalam etika yang harus diperhatikan dalam belajar terdapat sepuluh etika yang di tawarkannya adalah membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian; membersihan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qana’ah terhadap segala pemberian dan cobaan; pandai mengatur waktu; menyederhanakan makan dan minuman; bersikap hati-hati (wara’); menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan yang menyebabkan kebodohan; menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan; dan meninggalkan hal-hal yangkurang berfaedah. Dalam hal ini terlihat, bahwa ia lebih menekankan pada pendidikan ruhani atau jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khusus nya bagaimana mengatur waktu, mengatur akanan dan minuman dan sebagainya.
Etika seorang murid terhada guru; dalam membahas hal ini, ia menawarkan dua belas etika, yaitu: hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru; memilih guru yng barhati-hati di samping professional; mengikuti jejak-jejak guru; memuliakan guru; memperhatikan apa yang menjadi hak guru; bersabar terhadap kekerasan guru; berkunjung pada guru pada tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempanya; duduklah dengan rapih dan sopan bila berhadapan dengan guru; berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut; dengarkan segala fatwanya; jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan; dan gunakan anggota yang kanan bia menyerahkan sesuatu kepadanya.
Etika murid terhadap pelajaran. Murid dalam menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai berikut: memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ain untuk dipelajari; harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu ain; berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama; mendiskusiakan dan menyetorkan kepada orang yang dipercayainya; senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu; pancangkan cita-cita yang tinggi; bergaullah dengan orang yang berilmu tinggi (pintar); ucapkan salam bila ditempat majelis ta’lim (sekolah/madrasah); bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaklah ditanyakan; kemanapun kita pergi dan dimanapun kita pergi dan dimanapun kita berada jangan lupa membawa catatan; pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); tanamkan rasa antusias/semangat dalam belajar.
Etika seoarang guru: tidaklah hanya murid dituntut untuk beretika, apalah artinya etika diterapkan kepada murid, jika guru yang mendididknya tidak mempunyai etika.oleh karena itu, ia juga menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain senantiasa mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub ila Allah); senantiasa takut kepada Allah; senantiasa bersikap tenang; senantiasa berhati-hati; senaniasa Tawadhu’, senantiasa khusu’, mengadukan segala persoalan kepada Allah SWT; idak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata; tidak selalu memanjakan anak didik; berlaku zuhud dalam kehidupan dunia; menhindari berusaha dalam hal-hal yang rendah; menghindari tempat-tempat yang kototr dan tepat ma’siyat; mengamalkan sunnah Nabi; mengistiqamahkan membaca Al-Qur’an; bersikap ramah,ceria dan suka menaburkan salam; membersihkan diri dari perbauatan –perbuatan yang tidak di sukai Allah; menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan; tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya dan membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
Etika Guru dalam mengajar: Seorang gru kertika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan beberapa etika. Dalam hal ini ia menawarkan gagasan tentang etika guru ketika mengajar sebagai berikut: mensucikan diri dari hadast dan kotoran, berpakaina sopan dan rapih usahan berbau wangi, berniatlah beribadah ketikadalam mengerjakan ilmu kepada anak didik; biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan; usahakan tampilan nya ramah, leah lembut, jelas tegas dan lugas serta tidak sombong; menjauhkan diri dari berurau dan banyak tertawa; berilah salam ketika akna masuk’ sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu dengan berdo’a untuk apra ahl ilmu yang telah lama meninggalkan kita; jangan sekali-kali megajarkan hal-hal yang bersifat syubhat; bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-persoalan yang ditemukan; berilah kesempatan kepada peserta didik yang datnagnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksud; dan bila telah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum dipahami
Etika guru bersama murid: Guru dan murid tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. akan tetapi antara keduanya juga mempunyai etika yang sama. Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid. Di antara etika tersebut adalah: berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam; menghindari ketidak ikhlasan dan mengajar keduniawian; hendaknya selalu melakukan intropeksi diri; menggunakan metode yang mudah dipahami murid; membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya; bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik; tunjukan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik; dan tawadhu.
Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan nya: Satu hal yang paling menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada umunya adalah etika terhadap buu dan alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika itu, maka biasanya itu bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis. Sering pula itu di anggap sebagai aturan yang sudah umum berlaku dan cukup dikeahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi ia memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu di perhatikan. Di antara etika yang ditawarkannya dalam masalj ini antara lain: menganjurkan dan mengusahakan agar memiliki buku pelajaran yang diajarkan; merelakan dan mengijinkan bila kawan meminjam buku pelajaran; sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang pinjaman ersebut; letakkan buku pelajaran di tempat yang terhormat; memeriksa terlebih dahulu bila membeli atau meminjamkannya kalau-kalau ada kekurangan lembarannya; bila menyalin buku pelajaran syari’ah hendanya bersuci dahulu dan mengawalinya dengan basmalah, sedangkan bila yang disalinnya adalah ilu retorika atau semacamnya, maka mulailah Hamdalah (puji-pujian) dan shalawat Nabi.
Kembali terlihat kejelian dan ketelitianya dala melihat permasalahan dan seluk-beluk proses belajar mengajar. Hal ini tidak akan terperhatikan bila pengalaman pengenai hal ini tidak pernah dilaluinya. Oleh sebab iu, menjadi wajar apabila hal-hal yang kelihatannya sepele, tidak luput dari perhatiannya, karena ia sendiri mengabdikan hidupnya untuk ilmu dan agama, serta mempunyai kegemaran membaca.
Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Sosial
Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.
Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).
Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional. Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).
Karya K.H. Hasyim Asy’ari
Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut:
1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin fii ma yahtaaju ilah al-muta’alim fi ahuwal Ta’allum wa ma yataqaff al-mu’allim fi maqamat Ta’limih.
2) Ziyaadatu Ta’liiqaatin, Radda fiha manzbuumata al-syaikh “abdillaahibi yasin al-fasuruwaany alladzii yahiiju bihaa ‘ala ahli jam’iyyati nahdlatul ulama
3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman Yashna al-maulid al-munkarat,
4) Al-Risalat Al-Jami’at, sharh fiha ahwaal al-sunnah wa al bid-ah
5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, bain fihi ma’na al-mahabbah lirasul allah wa ma yata’allaq biha man ittaba’iha al-sunnatih.
6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari,
7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, sharh fiha asalat al-thariqah wa wa al-wilayah wa ma yata’allaq bihima min al-umur al-muhummah li ahl al-thariqah
8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, bain fih ahammiyat shillat al-rahim wa dhurar qath’iha
9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, wahiya risalah shaghirat fi bayan’ aqidah ahl sunnah wa al-jamaah
10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.
Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K.H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren). Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda. Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional….
“belajar di masa muda bagaikan mengukir diatas batu,
dan belajar di masa tua bagaikan mengukir di atas air”
~ Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’Ari ~


DAFTAR PUSTAKA
A Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, Jakarta: PT. Diva Pustaka, 2004
Asad syihab, Muhammad, hadratus syaikh Muhammad hasyim asy’ari, Yogyakarta: Titian ilahi press,1994
Asy’ari, Hasyim, Adab Ta’lim muta’allim….Jombang: Turats al-islami,
Bakar aceh, Abu, sejarah hidup K.H.A. Wahid hasyim dan karangan tersiar, Jakarta: Panitia buku peringatan K.H.A. Wahid hasyim, 1975
Nizar, samsul, filsafat pendidikan islam. Jakarta: Ciputat pers, 2002
Suwito dan fauzan, sejarah pemikiran para tokoh pendidikan. Bandung: Angkasa, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar