Kamis, 08 April 2010

KEWARISAN, WASIAT DAN WAKAF

KEWARISAN, WASIAT DAN WAKAF

1. Waris
A. Pengertian Waris (Al-miirats)
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa Arab ) yang berarti mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

B. Harta Warisan untuk ahli waris
حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه،عن النّبي (صلعم) قال: الْحِقُوْا الْفَرَائِضَ بِاَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهْوَ لأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ. (احرجه البخارى فى:85-كتاب الفرائض:5-باب ميراث الولد من ابه و امه)
“Ibnu Abbas r.a. berkata: Nabi SAW. Bersabda: berikan waris itu kepada ahlinya (orang-orang yang berhak). Kemudian jika ada sisanya maka untuk kerabat yang terdekat yang laki-laki”. (H.R Bukhary)

C. Kelompok – Kelompok Ahli Waris dan Bagian Warisannya

1. Ahli Waris Sababiyah
1. Istri (1/4): Jika suami tidak mempunyai far’un waris, yaitu keturunan
(1/8): Bila suami mempunyai far’un waris, baik yang lahir melalui istri pewaris ini maupun melalui istrinya yang lain

Istri tidak bisa menghijab, juga tidak bisa dihijab hirman, kepada dan oleh ahli waris manapun. Tetapi bisa dihijab nuqshan oleh :
• Anak laki-laki / anak perempuan
• Cucu laki-laki / cucu perempuan pancar laki-laki
Cucu dari anak perempuan disebut far’un ghair waris, karena termasuk dzaw al-arham.

2. Suami (1/2): Jika istri tidak mempunyai far’un waris
(1/4): Jika istri mempunyai far’un waris. Baik yang lahir dari suami yang menjadi pewaris ini maupun dari suami yang lain (terdahulu)
2. Ahli Warits Nasabiyah
1. Furu’ul Mayit :
a. Anak Perempuan :
(1/2) Jika tidak bersama-sama dengan saudaranya yang laki-laki yang menjadikan dia sebagai ashabah bil ghair.
(2/3) Jika terdiri dari dua orang atau lebih dan tidak bersama-sama dengan saudaranya yang laki laki yang menjadikan sebagai ashabah.
Ashabah bilghair Bila ia mewarisi bersama-sama dengan saudaranya yang laki laki, baik anak perempuan tersebut tunggal atau banyak.
Anak perempuan tidak dapat dihijab oleh siapapun (baik hijab hirman atau nuqshan) sedang ahli warits yang terhijab oleh anak perempuan adalah :
Terhijab hirman :
- Saudara seibu
- Saudari seibu
- Cucu perempuan pancar laki laki kecuali jika cucu perempuan tersebut mewarisi bersama cucu laki laki pancar laki laki yang menjadikannya ashabah bil ghair.
Terhijab nuqshan : - Ibu - Istri - Suami..


b. Anak laki laki:
Bagian anak laki laki adalah `Ashabah dengan ketentuan :
1. Jika simati hanya meninggalkan seorang atau beberapa orang anak laki-laki saja, maka ia mewarisi seluruh harta peninggalan.
2. Bila simati meninggalkan anak laki-laki dan tidak meninggalkan anak perempuan seorang pun, tetapi meninggalkan ahli waris ashhabul furudl, maka anak laki-laki mendapat sisa setelah diambil bagian ashhabul furudl
3. Bila simati meninggalkan anak laki-laki, anak perempuan dan ashhabul furudl, maka seluruh harta peninggalan setelah diambil bagian ashhabul furudl dibagi dengan ketentuan
Firman Allah Surat Al-Baqarah Ayat 1:
Kebanyakan ahli warits dapat dihijab oleh anak laki laki, kecuali :
- Ibu - Bapak –Suami -Istri (dapat dihijab nuqshan)
- Anak perempuan -Kakek -Nenek Shahihah.
Anak laki tidak dapat dihijab oleh siapapun.
c. Cucu perempuan pancar laki laki (bintul ibni) dan anak perempuannya cucu laki laki pancar laki laki (Bintu ibnil ibni) :
1/2 : Bila ia hanya seorang diri
2/3 : Bila ia dua orang atau lebih.
Penerimaan 1/2 dan 2/3 tersebut bila tidak bersama-sama dengan ahli warits yang menjadikannya ashabah bersama (ashabah bil-ghair)
Ashabah bilghair : Bila ia mewarisi bersama-sama dengan orang laki-laki yang sederajat yang menjadikannya ashabah bersama, dengan ketentuan :
1. Jika tidak ada ashhabul furudl, mereka mendapat seluruh tirkah ( 2:1 )
2. Jika ada ashhabul furudl, mereka menerima sisa setelah diambil bagian ashhabul furudl
3. Jika harta habis oleh ashhabul furudl, mereka tidak menerima apa-apa
1/6 Penyempurna 2/3 :
Bila bersama-sama dengan seorang anak perempuan dan tidak bersama-sama dengan mu’ashib yang sederajat atau yang lebih tinggi derajatnya yang dapat menghijabnya.

Cucu perempuan pancar laki-laki dapat menghijab :
- Saudara/saudari seibu dari si mati, dan dapat dihijab oleh :
- Dua orang anak perempuan
- Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki yang lebih tinggi derajatnya, jika tidak ada mu’ashib yang mendampinginya
- Far’un waris laki-laki yang lebih tinggi derajatnya

d. Cucu laki-laki Pancar laki-laki
Ia mendapat Ashabah dengan ketentuan sbb :
a. Bila si mati tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang lain, ia menerima seluruh harta peninggalan secara ushubah. Dan jika ada ashhabul furudl, ia menerima sisa dari ashhabul furudl
b. Bila ia mewarisi bersama-sama dengan saudari-saudarinya, maka harta tersebut dibagi dengan saudari-saudarinya dengan ketentuan 2 : 1
Kebanyakan ahli waris dapat dihijab oleh cucu laki-laki, pancar laki-laki kecuali :
1. Ibu 2. Ayah 3. Suami 4. Isteri 5. Anak perempuan 6. Cucu perempuan pancar laki-laki 7. Kakek Shahih 8. Nenek Shahihah
Dan dia sendiri sebagai ahli waris dapat dihijab oleh :
“Setiap laki-laki yang lebih tinggi derajatnya dari dia”.

2. Ushulul Mayit
a. Ibu:
1/6 Bila ia mewarisi bersama-sama dengan far’un waris atau bila ia
bersama-sama dengan saudara-saudara si mati
1/3 Bila tidak bersama-sama dengan far’un waris bagi si mati atau tidak bersama dengan dua orang atau lebih saudara si mati, dan yang mewarisi hanya ia sendiri dengan ayah si mati tanpa salah seorang suami-istri si mati
1/3 sisa : terjadi dalam dua masalah, yaitu :
i. jika ahli warisnya : Suami, Ibu, dan ayah
1/2 1/3 sisa Ash
ii. Jika ahli warisnya : Istri, Ibu, dan ayah
1/4 1/3 sisa Ash
Ahli waris yang terhijab oleh ibu :
1. Nenek dari pihak ibu ( ibunya ibu ) atau ummul ummi
2. Nenek dari pihak bapak ( ibunya bapak/ ummul abi ) terus ke atas

Ibu terhijab nuqshan oleh :
1. Far’un waris secara mutlak
2. Dua orang saudara secara mutlak

b. Nenek Shahihah
1/6 : Bila si mati hanya meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak
meninggalkan ibu atau ahli waris yang lain

Muthadziyat : Bila meninggalkan beberapa orang nenek yang sama derajatnya, maka 1/6 tersebut dibagi rata diantara mereka
Yang menghijab nenek :
1. Ibu 2. Ayah 3. Kakek Shahih 4. Nenek yang lebih dekat

c. Ayah : 1/6 Bila yang mati mempunyai anak laki-laki atau cucu laki-laki pancar
laki-laki terus ke bawah
1/6+Ash Bila yang mati mempunyai far’un waris muannats (anak
perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki)
Ashabah Jika si mati tidak meninggalkan ahli waris, kecuali ayah

Ahli waris yang tidak dapat dihijab oleh ayah :
- Anak -ibu -suami - istri - nenek shahihah
(ibunya ayah dapat dihijab oleh ayah)
Ayah tidak dapat dihijab oleh siapapun juga

d. Kakek: 1/6 Bila yang mati meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-
laki dan tidak meninggalkan bapak
1/6+Ash Bila si mati meninggalkan far’un waris muannats dan tidak
ada far’un waris mudzakar juga tidak ada bapak
Ashabah Bila si mati tidak mempunyai far’un waris secara mutlak,
tetapi ada ahli waris lain, seperti : ibu, suami, atau istri

Ikhtilaf : Ahli waris yang terhijab oleh kakek shahih adalah :
1. saudara kandung
2. Saudara seayah
3. Saudara seibu
4. Anak laki-lakinya saudara kandung ( Ibnu Akhi Syaqiq )
5. Anak laki-lakinya saudara ( Ibnu Akhi Liab )
6. paman sekandung ( ‘amm liabawain )
7. Paman seayah
8. Anak laki-laki paman sekandung
9. Anak laki-laki paman seayah
10. Kakek shahih yang lebih jauh
Kakek terhijab oleh : Ayah dan kakek yang lebih dekat

Kewarisan Kakek Bersama Dengan Saudara

Bagian kakek shahih ketika bersama dengan saudara-saudara kandung atau saudara tunggal ayah, yakni :

1. Abu Bakar Shiddiq, Ibnu Abbas, Ibnu Umar al-Hasan, Ibnu Shirrin, dan Abu
Hanifah berpendapat “Bahwa kakek sama dengan ayah, yakni dapat menghijab
segala macam saudara” Menganalogikan kakek dengan ayah dan dengan cucu
laki-laki pancar laki-laki ( Ab dengan maksud kakek )
Keutamaan kakek dari saudara-saudara :
a. Kakek hanya dihijab oleh ayah
Saudara oleh : Ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki
b. Kakek mempusakai dengan fardh dan ushubah
Saudara-saudara hanya ushubah saja
2. Ali bin Abi Thalib, Ibnu mas’ud, Zaid bin Tsabit
Imam Madzhab selain Abu Hanifah, Abu Yusuf, berpendapat :
“Kakek dapat menghijab saudara-saudara tunggal ibu (berstatus sebagai ayah), tetapi
tidak dapat menghijab saudara sekandung atau seayah (karena statusnya dianggap
setara dengan mereka) Kita harus memperhatikan keadaan saudara-saudara atau
saudari-saudari dalam masalah
tersebut : Apabila mereka (baik saudara sekandung maupun seayah) sebagai ahli
waris ashabah, maka kakek:
i. dianggap sebagai saudara kandung (jika bersama saudara dengan saudara sekandung)
ii. dianggap seperti saudara seayah (jika bersama dengan saudara seayah)
Keduanya berserikat dalam muqasamah dengan ketentuan 2 : 1.

1. Al Hawasyi

a. Saudari sekandung
1/2 Bila si mati hanya meninggalkan saudari sekandung saja (tidak bersama
dengan saudara sekandung) yang menjadikannya ashabal bil ghair
2/3 Bila si mati tidak meninggalkan ahli waris kecuali dua orang saudari
sekandung atau lebih
Ushubah (bil ghair) : Bila ia mewarisi bersama saudara sekandung
Ushubah (ma’al ghair) : Bila ia mewarisi bersama dengan :
1. Anak perempuan (tunggal atau banyak)
2. Cucu perempuan pancar laki-laki (tunggal atau banyak)
3. Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki

Ket.: Yang dimaksud dengan saudara dalam surat an-Nisa ayat 12 adalah saudara/i
seibu, sedangkan dalam ayat 176 adalah saudara/i sekandung atau sebapak saja.

Bila saudari sekandung bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, mereka dapat menghijab :
1. Saudara sebapak
2. Anak laki-laki saudara sekandung (keponakan)
3. Anak laki-laki saudara sebapak
4. Paman seibu sebapak
5. Paman sebapak
6. Anak laki-laki paman seibu sebapak
7. Anak laki-laki paman sebapak
8. Saudara perempuan sebapak (saudari sebapak)
Saudari sekandung terhijab oleh : 1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah

b. Saudari Seayah
1/2 Bila ia seorang saja dan tidak bersama dengan saudari sekandung atau
saudara seayah
2/3 Bila terdiri dari dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan saudari
sekandung atau saudara seayah
1/6 Bila bersama-sama saudari sekandung dan tidak dengan mu’ashibnya (saudara
sebapak)
Ashabah (bil ghair) : Bila bersama dengan saudara seayah
(ma’al ghair) : Bila bersama-sama dengan:
- Anak perempuan
- Cucu perempuan pancar laki-laki terus kebawah
- Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki

Saudari seayah jika tidak bersama dengan saudara seayah tidak dapat menghijab siapapun, tapi jika bersama-sama, maka dapat menghijab :
1. Kemenakan anak laki-laki saudara sekandung
2. Kemenakan anak laki-laki saudara seayah
3. Paman sekandung
4. Paman seayah
5. Anak laki-laki paman sekandung (saudara sepupu)
6. Anak laki-laki paman seayah (saudara sepupu)

Saudari seayah terhijab oleh :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki
3. Ayah
4. Saudara sekandung
5. Saudari sekandung yang menjadi ashabah ma’al ghair
6. Dua orang saudari sekandung. Jika saudari seayah tidak bersama dengan mu’ashibnya.


c. Saudari/i seibu ( Auladul Ummi)

1/6 Bila hanya seorang saja (laki laki atau perempuan)
1/3 Bila dua orang atau lebih (laki laki atau perempuan)
Kedua kemungkinan tersebut jka mereka mewarisi dalam keadaan kalalah.
Bila mereka tidak dalam keadaan kalalah, mereka terhijab oleh far’u warits
dan ashlu warits mudzakar.

Tidak dapat menghijab siapapun dan terhijab oleh :
- Anak laki laki atau perempuan
- Ayah
- Kakek Shahih (abul ab)

d. Saudara kandung

Ashabah bila tidak bersama saa dengan ahli warits yang menghijabnya dan tidak bersama dengan kakek shahih. Kalau bersama kakek, dibagi sama rata dengan kakek (muqasamah)

Yang dapat menghijab saudara kandung :
- Ayah
- Anak laki laki
- Cucu laki laki pancar laki laki
Yang terhijab :
1. Saudara seayah
2. Anak laki laki saudara sekandung
3. Anak laki laki saudara seayah
4. Paman sekandung
5. Paman seayah
6. Anak laki laki paman sekandung
7. Anak laki laki paman seayah

2. Wasiat
Pengertian Wasiat
Kata wasiat (Wasiyyah) menurut bahasa diambil dari kata Washshaitu Asy-syaia, uushihi, artinya aushaltuhu ( aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang emnyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati. Sedangkan menurut istilah syara, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat atau pun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang dibri wasiat sesudah orang yang berwasiat itu meninggal.
Ada pula yang mendefinisikan bahwa Al Washa-ya itu adalah bentuk jamak dari “Wasiyyah”. Wasiat itu menurut hukum syara (istilah) ialah suatu perjanjian khusus yang disandarkan sesuatu sesudah meninggal.

Jumlah Maksimal Harta Wasiat
Untuk melaksanakan wasiat perlu diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak boleh lebih dari sepertiga harta yang dimiliki oleh pemberi wasiat. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw :
حدثنا عبد الله بن يوسف: أخبرنا مالك، عن ابن شهاب، عن عامر بن سعد بن أبي وقاص، عن أبيه رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يَعُوْدُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ، مِنْ وَجَعِ اْشتَدَّ بِي، فَقُلْتُ: إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِي مِنَ الْوَجَعِ، وَأَنَا ذُو مَالِ، وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّ ابْنَةٌ، أَفَاَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: (لاَ). قُلْتُ: باِلشَّطْرِ؟ فَقَالَ: (لاَ). ثُمَّ قَالَ: (الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَبِيْرٌ، أَوْ كَثِيْرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ، وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ). فقلت: يا رسول الله، أَخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي؟ قال: (إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلاً صَالحًِا إِلاَّ ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً، ثُمّ َلَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ، وَيُضَرَّ بِكَ آخرُونَ، اللَّهُمَّ اَمْضِ لأَِصْحَابِي هجرتهم ولا تردهم على أعقابهم، لكن البائس سعد بن خولة). يرثي له رسول الله صلى الله عليه وسلم أن مات بمكة.. (اخرجه البخاري فى :55-كتاب الجنائز: 35 - باب: رثى النبي صلى الله عليه وسلم سعد بن خولة.


Adapun prosentase maksimal besarnya wasiat seseorang yang paling utama adalah tidak lebih dari sepertiga hartanya, sebagaimana ijma’ ulama. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash berkata,”Telah datang Nabi saw untuk menengokku, sedangkan aku berada di Mekah—beliau tidak suka mati di tanah yang beliau hijrah—beliau berkata,”Semoga Allah mengasihi anak lelaki Afra.’ Aku berkata,”Wahai Rasulullah apakah aku harus mewasiatkan semua hartaku?’ beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’separuhnya.’ Beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’Sepertiga?’
Beliau saw menjawab,’ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada manusia dengan tangan mereka. Sesungguhnya apa pun nafkah yang telah engkau nafkahkan, maka ia adalah sedekah hingga makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu…” (HR. Bukhori dan Muslim)
Sepertiga dihitung dari semua harta
Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga tersebut dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang masih berkembang, sedangkan dia tidak mengetahuinya.
Apakah sepertiga harta yang dipegangi dalam wasiat itu harta ketika ia mewasiatkan atau harta sesudah dia mati?
Malik, An-Nakha'i dan 'Umar bin 'Abdul 'aziz berpendapat bahwa yang menjadi pegangan ialah sepertiga peninggalan diwaktu berwasiat. Sedang menurut Abu Hanifah, Ahmad dan pendapat yang lebih shahih dari kedua pendapat As-syafi'i menyatakan bahwa sepertiga itu adalah sepertiga waktu dia mati. Dan ini adalah pendapat sahabat Ali dan sebagian tabi'in.
Wasiat yang lebih banyak dari sepertiga
Orang yang berwasiat itu adakalanya mempunyai ahli waris dan adakalanya tidak.
Bila dia mempunyai ahli waris ,aka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga, seperti telah disebutkan. Apabila dia mewasiatkan lebih dari sepertiga, maka wasiatnya tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris dan untuk pelaksanaannya diperlukan dua syarat:
1. Agar permintaan izin dari ahli waris itu dilaksanakan sesudah orang yang berwasiat mati, sebab sebelum dia mati orang yang memberi izin itu belum mempunyai hak, sehingga izinnya tidak menjadi pegangan. Bila ahli waris memberikan izin di waktu orang yang berwasiat hidup maka orang yang berwasiat mungkin mencabut kembali wasiatnya bila dia ingin. Dan bila ahli waris memberikan izin sesudah orang yang berwasiat mati, maka wasiatnya itu dilaksanakan. Berkata Az-Zuhri dan Rabia'ah: orang yang sudah mati itu tidak akan merujuk wasiatnya.
2. Agar orang yang memberi izin itu mempunyai kompetensi yang syah, tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian, diwaktu memberikan izin. Bila orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris, maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga pula. Ini adalah menurut jumhur ulama.
Orang-orang Hanafi, Ishak, Syarik dan Ahmad dalam satu riwayatnya yaitu ucapan Ali dan Ibn Mas'ud – memperbolehkan kepadanya untuk berwasiat lebih dari sepertiga (bila tidak mempunyai ahli waris).
Sebab dalam keadaan ini orang yang berwasiat itu tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan kemiskinannya, dan karena wasiat yang ada dalam ayat adalah wasiat mutlak sehingga dibatasi oleh sunnah dengan mempunyai ahli waris. Dengan demikian maka wasiat mutlak itu tetap terjadi bagi orang yang tidak memiliki ahli waris.
Batalnya Wasiat
Wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat yang telah disebutkan, misalnya sebagai berikut:
1. Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikannya kepada kematian.
2. Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya.
3. Bila yang mewasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh orang yang diberi wasiat.



b. Jangan memberikan wasiat kepada ahli waris yang sudah mendapat bagian yang cukup, jika hal ini dilakukan wasiatnya tidak syah.
3. Wakaf
Pengertian wakaf
Wakaf (waqf) di dalam bahasa arab berarti habs ( menahan). Dikatakan waqafa-yaqifu-waqfan artinya habasa-yahbisu-habsan.
Menurut iatilah syara' wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).
Sedangkan menurut istilah (syara’) yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang di definisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut.

1. Muhammad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah:



“ Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas Mushrif (pengelola) yang di bolehkan adanya.”

2. Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni dalam kitab Kifayatul al-Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah:



“ Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah swt.”
3. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridho Allah.
4. Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, menahan hata yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat (‘ain)-nya dan menyerahkannnya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara’, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.

Dari definisi-definisi yang telah dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.

A. Ketentuan-ketentuan Wakaf
Ketentuan-ketentuan wakaf terdapat dalam Hadist sebagai berikut:
حدثنا قتيبة بن سعيد: حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري: حدثنا ابن عون قال: أنبأني نافع، عن ابن عمر رضي الله عنهما: أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر، فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها، فقال: يا رسول الله، إني أصبت أرضا بخيبر، لم أصب مالا قط أنفس عندي منه، فما تأمر به؟ قال: (إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها). قال: فتصدق بها عمر: أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث، وتصدق بها في الفقراء، وفي القربى، وفي الرقاب، وفي سبيل الله، وابن السبيل، والضيف، لا جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف، ويطعم غير متمول. قال: فحدثت به ابن سيرين، فقال: غير متأثل مالا. (اخرجه البخاري فى :55- كتاب الشروط: باب:19- الشروط في الوقف.)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia telah berkata: “Umar telah mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian dia datang menghadap Nabi saw untuk mendapat petunjuk tentang cara pengelolaannya, katanya: “ Wahai Rasulullah! Saya telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Belum pernah saya memperoleh harta yang lebih baik daripada ini. Bagaimanakah saranmu mengenai perkara ini?” beliau bersabda: “jika kamu suka, jaga tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnya.” Lalu Umar mengeluarkan sedekah hasil tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual dan dibeli serta diwarisi atau dihadiahkan. Umar mengeluarkan sedekah hasil tanahnya kepada fakir miskin, kaum kerabat, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, juga untuk orang yang berjihad di jalan Allah serta untuk bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan menjadi hidangan untuk tamu. Orang yang mengurusnya boleh makan sebagian hasilnya denga cara yang baik dan boleh memberi makan kepada temannya ala kadarnya.”
Menurut Ahmad Azhar Basyir berdasarkan hadits di atas maka diperoleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Harta wakaf harus tetap (tidak dapat dipindahkan kepada orang lain), baik diperjualbelikan, dihibahkan, maupun diwariskan.
2. Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang yang mewakafkannya.
3. Tujuan wakaf harus jelas (terang) dan termasuk peruatan baik menurut ajaran agama Islam.
4. Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam harta wakaf sekadar perlu dan tidak berlebihan.
5. Harta wakaf dapat berupa tanah dan sebagainya, yang tahan lama dan tidak musnah sekali digunakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar