Sabtu, 02 Oktober 2010

Kiai As'ad dan Tongkat Musa Demi NKRI

Kiai As'ad mengumpamakan NU sebagai "Tongkat Musa" yang siap melawan pihak-pihak yang merongrong keutuhan NKRI. Seruan kebangsaan Kiai As'ad itu kini seakan menemukan relevansinya kembali.


Muhammad Ismail Yusanto (MIY) menanggapi esai saya "NU Vs Gerakan Trans-Nasional" (Jawa Pos, 4/5/2007). Ia tampaknya membaca esai saya sebelumnya dengan penguasaan emosi yang lemah, sehingga cenderung kurang ketelitian dalam memahami kalimat per kalimat.


Dia tak sanggup membedakan mana pernyataan saya dan mana yang merupakan kutipan saya atas himbauan PBNU dan KH Hasyim Muzadi. MIY memberi titel tanggapannya "Moqshid Memprovokasi Konflik" (Jawa Pos, 18/5/2007). Atas tanggapan itu, beberapa hal berikut perlu diklarifikasikan dan dijelaskan.


Pertama, istilah "gerakan trans-nasional" yang dipersoalkan MIY adalah istilah yang dipakai PBNU (lihat Taushiyah PBNU, NU Online 24/4/2007) untuk menjelaskan fiil sejumlah organisasi Islam baru di Indonesia yang tampaknya hendak menggantikan Pancasila dan UUD 1945. Dan Hizbut Tahrir, tempat MIY bernaung, adalah ormas yang secara gigih dan sistematis memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah dan dengan demikian, secara logis NKRI dianggap tidak relevan.


MIY dkk aktif dan bebas mempengaruhi dan mendakwahkan ideologinya itu kepada warga negara Indonesia. Tapi MIY Cs seperti beredar di luar orbit UUD 1945. Sebab tujuan akhir yang mereka hendak capai adalah penggantian sistem pemerintahan secara radikal. Bagaimana mungkin sebuah ormas di Indonesia dibiarkan bergerak bebas di luar bingkai NKRI, Pancasila, dan UUD 1945?


Kedua, kisah perampasan mesjid NU--yang menurut MIY dianggap fitnah--adalah informasi yang saya ambil dari himbauan Ketua Umum PBNU melalui situs resmi NU, NU Online (25/4/2007). Dan saya yakin, orang sekaliber Kiai Hasyim tak akan mempertaruhkan reputasinya dengan melemparkan fakta yang keliru. Ia menyatakan itu, pasti setelah mendapatkan laporan dari para kiai dan pengurus NU di daerah-daerah. Dalam tradisi NU, setiap ada laporan tentang sesuatu hal selalu dilakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu untuk dicek kebenarannya di lapangan.


Ketika tashawwur (gambaran obyektif) tentang persoalan sudah dicapai, baru dikeluarkan himbauan. Begitulah mekanisme pengambilan dan perumusan himbauan atau Taushiyah NU untuk merespons sebuah peristiwa. Ketika Taushiyah dirasa kurang cukup, NU biasanya akan membicarakannya kembali dalam forum yang lebih tinggi, Munas atau Muktamar. MIY mestinya mengarahkan tuntutan pembuktian pernyataan itu kepada Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi secara langsung, dan bukan kepada saya. Karena NU adalah pihak yang paling dirugikan dari pengambil-alihan masjid-masjidnya ini.


Sekarang para pengurus NU di cabang-cabang terus mengukuhkan kohesi ke-NU-an untuk menghadapi gerakan trans-nasional dan pengambil-alihan masjid-masjid kaum Nahdliyyin. Pengurus NU Cabang Pasuruan misalnya, sebagaimana dilansir NU Online (7/5/2007), hendak memberikan simbol NU pada masjid-masjid yang didirikan warga NU di sana. Ini dilakukan setelah sebelumnya diberitakan, tiga mesjid milik warga NU di Banyuwangi diambil-alih oleh kelompok Islam garis keras. Pengambil-alihan masjid di Banyuwangi itu sekurangnya berlangsung di tiga kecamatan; Purwoharjo, Genteng, dan Ketapang (NU Online, 19/2/2007).


Saya mengerti, yang dituju dari kerisauan PBNU ini sebenarnya adalah agar masjid tak dijadikan--meminjam bahasa KH Hasyim Muzadi--sebagai ”pangkalan untuk menyerang republik dan doktrin NU yang moderat dan toleran”. Publik Islam pasti maklum bahwa begitu kepengurusan atau takmir masjid jatuh ke tangan kelompok Islam garis keras, maka para khatibnya pun akan dicarikan dari kelompok Islam serupa. Tak pelak lagi, mimbar masjid akan menjadi sarana untuk mengkafirkan tokoh-tokoh Islam lain dan mencaci agama lain. Dari atas mimbar masjid pula, sendi-sendi NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 kerap digerogoti.


Ketiga, MIY benar bahwa di (sebagian) pesantren diajarkan kitab yang memuat persoalan imamah dan khilafah. Para kiai pesantren dan ustad baik secara sendiri maupun kolektif mempelajari buku sejarah, termasuk sejarah politik Islam. Tapi berbeda dengan umumnya aktivis Islam fundamentalis Indonesia berlatar belakang pendidikan non-agama—yang biasanya memahami Islam melalui majalah dan paling jauh (maaf) terjemahan buku-buku Islam ideologis—para kiai mengerti sejarah Islam dari sumber-sumber utama seperti Târîkh al-Umam wa al-Mulûk karya al-Thabari, al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsir, al-Sîrah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, al-Kâmil fit Târîkh karya Ibnu al-Atsir, Sulukul Malik fî Tadbiril Mamâlik karya Ibnu Abi Rabi', dan sebagainya.


Melalui buku-buku itu, para kiai mengerti bahwa yang wajib adalah mengangkat seorang pemimpin (nashbul imâm) di berbagai level mulai dari tingkat desa sampai pusat; bukan seorang Khalifah seperti yang dikehendaki Taqiyuddin al-Nabhani yang ditaqlidi secara kâffah oleh MIY Cs. Para kiai selalu melakukan komparasi dan tarjîh secara jama'i (kolektif) terhadap pelbagai jenis pendapat dalam fikih Islam. Inilah yang membedakan antara NU dan Hizbut Tahrir, antara para kiai NU dan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).


Dengan kelengkapan dan kecakapan intelektuil yang dimilikinya, seperti ilmu ushul fikih, qawaid fiqhiyyah, qawaid al-lughah, ilmu al-balaghah, ilmu al-ma'ani, ilmu al-jarah wa al-ta'dil, dan lain-lain, banyak kiai yang sanggup melakukan kontekstualisasi pemahaman terhadap kitab kuning.


Dalam keputusan Munadharah "Pengembangan al-'Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab secara Kontekstual (Siyâqi)" di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988, dijelaskan bahwa takrif pemahaman kitab kuning secara kontekstual adalah; [1] suatu proses pemahaman kitab kuning yang mengacu kepada kenyataan baik syahshiyah (individual) maupun ijtima'iyah (sosial) yang melatarbelakangi kehadirannya; [2] upaya memahami kitab kuning yang tidak terbatas pada makna-makna harafiah, tetapi mampu menyentuh natîjah-natîjah (kesimpulan- kesimpulan) pemikiran yang menjadi jiwanya. Walhasil, teks kitab kuning selalu dipahami dalam konteks sintaksis (siyâqul kalâm) dan konteks kesejarahan (siyâqut târîkh) secara sekaligus.


Dengan kerangka metodologis seperti ini, menjadi maklum mengapa NU dan para kiai pesantren tak pernah mengusulkan berdirinya Khilafah Islamiyah. Sebab, tak seluruh apa yang tertulis dalam kitab kuning bisa diikuti begitu saja oleh para kiai. Mereka punya mekanisme sendiri untuk menyeleksi (tanqîh) mana-mana tafsir keagamaan yang relevan untuk diterapkan dalam konteks sekarang dan mana-mana pula yang problemtik. Para kiai akan memelihara teks-teks lama yang masih maslahat.


Namun, tak ada keraguan pula untuk mengambil pandangan-pandangan baru yang lebih maslahat. Al-muhâfazhah 'alal qadîmis shâlih wal akhdz bil jadîdil ashlah.

Dengan kaidah ini, NU tak canggung menerima Pancasila dan tak ragu untuk menolak khilafah islamiyah. NU pernah menolak NII (Negara Islam Indonesia) yang didirikan almarhum Kartosuwiryo, dan ikut menetapkan Kartosuwiryo dkk sebagai pelaku makar (bughat) terhadap negara yang sah, Indonesia.


Melihat gerakan perongrongan terhadap NKRI dan Pancasila yang menguat akhir-akhir ini, saya jadi teringat (Alm.) Kiai As'ad Situbondo. Tujuh belas tahun lalu, dalam suatu pertemuan di Auditorium PP Salafiyah Syafiiyah Asembagus Situbondo, dengan suara lantang dan bergetar membaca Alquran surat Thaha 17-21, Kiai As'ad mengumpamakan NU sebagai "Tongkat Musa" yang siap melawan pihak-pihak yang merongrong keutuhan NKRI. Seruan kebangsaan Kiai As'ad itu kini seakan menemukan relevansinya kembali.

http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&view=article&id=35%3Akiai-asad-dan-tongkat-musa-demi-nkri&catid=18%3Aulama&Itemid=43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar